"Di dunia jurnalis, pindah haluan bekerja di corporate, is such a big deal,"
Sejak kelas II SMA, saya tahu saya ingin kuliah di jurusan ilmu komunikasi, lebih tepatnya adalah jurusan jurnalistik. Saya meyakini industri media adalah salah satu bisnis everlasting karena semua orang membutuhkan informasi, yang bisa disediakan oleh perusahaan media.
Oleh karena itu, saya sempat ingin masuk jurusan IPS karena akan kuliah di jurusan sosial. Orang tua bersikeras saya harus masuk IPA karena keduanya adalah lulusan jurusan IPS. Akhirnya, saya menuruti keinginan mereka untuk masuk jurusan IPA dengan persyaratan ketika kuliah, saya bebas memilih jurusan yang disukai.
Setelah lulus SMPB di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran, saya menghabiskan waktu lima tahun menuntut ilmu di sana. Saya bersyukur bisa mendapatkan bekal ilmu dan pengalaman dari dosen-dosen, yang merupakan mantan wartawan.
Saya lulus kuliah pada pertengahan 2010, langsung freelance di majalah remaja Hai selama tiga bulan. November 2010, saya diterima sebagai jurnalis di harian Bisnis Indonesia. Saya tidak ragu melamar ke Bisnis Indonesia karena meyakini perusahaan media ini mampu menggaji karyawannya dengan sangat layak.
Padahal, saya sempat ingin bekerja di majalah cewek, majalah lifestyle, yang nggak pake mikir sih. Tetapi, pengalaman saya magang dan freelance di Hai membuat saya berpikir ulang untuk bekerja di industri media lifestyle. Kerja keras banget! Banyak event yang harus diliput, apalagi weekend itu banjir acara.
Masuk ke Bisnis Indonesia, dengan background lifestyle, saya ditugaskan di desk mingguan yang notabene meliput lifestyle juga, tetapi ada faktor bisnisnya. Kurang dari enam bulan, saya dirotasi ke desk ekonomi sesungguhnya, yakni desk non bank, meliput industri asuransi.
Kemudian, desk non bank liputan multifinance dan dana pensiun, dirotasi ke desk bank selama empat bulan, dan tiga bulan terakhir di Bisnis Indonesia saya ditempatkan di Polda Metro Jaya.
Saya agak menyesal karena tidak sempat meliput di desk bursa dan makro, jantungnya pemberitaan Bisnis Indonesia. Tetapi, ketika bergabung di Bloomberg TV Indonesia, saya belajar tentang market, bahkan dari yang sangat pengalaman, yaitu suami sendiri.
April 2013, saya memutuskan hengkang dari Bisnis Indonesia dan mencoba bekerja di industri media televisi. Saya berpikir bahwa Bloomberg TV Indonesia akan menjadi unggulan karena TV internasional berbasis ekonomi-bisnis pertama di Indonesia and i will practice my English as well. Well, i thought..
Saya bertugas sebagai guest booker atau bisa disebut dialog producer karena saya bersama produser menentukan narasumber yang akan diundang ke studio dan meramu content dialognya. Such a stressful job back in those days!
Kalau tidak mendapatkan konfirmasi narasumber selama jam kerja, pekerjaan saya berlanjut sampai ke rumah dan bisa sampai pukul 10.00 malam. Belum lagi drama narasumber mendadak batal karena alasan bla bli blu. Kondisi panik tetapi harus tetap berpikir jernih mengontak narasumber alternatif atau menyusun ulang content jika harus mengganti topik dialog.
Pekerjaan ini membuat saya harus berpikir cepat dan kreatif. Selalu ada jalan keluar untuk setiap masalah. Nggak ada waktu buat drama menyesalkan narasumber yang batal hadir atau terpaksa mengganti topik dialog. Chop chop chop!
Hingga suatu kondisi membuat saya terpaksa meninggalkan Bloomberg TV Indonesia pada pertengahan tahun ini. Saat itu, saya sudah beberapa kali interview di beberapa perusahaan tetapi masih abu-abu.
Pada akhir Juni 2015, saya dinyatakan diterima bekerja di suatu perusahaan yang bergerak di jasa keuangan sebagai Media & Investor Relations. Di saat bersamaan, salah satu TV juga tertarik merekrut saya sebagai asisten produser.
Saya dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama menarik. Lanjut atau tidak berkarier di media. Jika tidak, saya harus melepas semua privileges sebagai jurnalis dan menghadapi dunia kerja sesungguhnya. Jika berlanjut, saya belum tahu lagi kapan akan mendapatkan kesempatan bekerja di korporasi.
Setelah berdiskusi dengan suami, yang sudah duluan menggantung ID Press dan bekerja di korporasi, saya memutuskan untuk menerima offering dari corporate tersebut.
Sedih harus berpisah dari dunia yang selama ini saya impikan sejak SMA. Dengan menjadi jurnalis, saya berkesempatan bertemu orang-orang penting, menjalin networking dengan birokrat, jalan-jalan ke luar negeri, liputan dari hotel ke hotel, bahkan menemukan jodoh saya.
Banyak rekan jurnalis yang sering mendapatkan tawaran bekerja di korporasi non media, menolak tawaran tersebut karena terlanjur keasikan bekerja di industri ini.
But i refuse to be one of them. 5 years are quite enough for me. Now, it's time to challenge myself to enter the new world, the corporate world. And it's obviously different in any aspects. But i am sure i will survive and excel in this job.
Nggak jadi jurnalis, nggak bisa jalan-jalan ke luar negeri gratis? Insya allah, saya akan mampu traveling ke luar negeri with my own expense.
Pengalaman inilah yang juga menyadarkan saya bahwa saya sangat beruntung memiliki suami yang sangat suportif. Dia tidak pernah komplain saat tengah malam saya masih bekerja mengontak narasumber, hingga kini dia pun mendukung keputusan saya bekerja kantoran.
Insya allah, pekerjaan baru ini membawa berkah untuk kami berdua dan keluarga besar. Amin.
keren banget pengalamannya.. saya juga jurnalis tapi dari lulus kuliah gak pindah2 kerja. jadi klo mutusin untuk gak kerja di media lagi susahh bgt dehh...
ReplyDelete